Meniti Jalan Sunnah, Membentuk Pribadi Muslim dan Keluarga Sakinah untuk Mewujudkan Generasi Rasulullah
Saturday, February 4, 2012

Allah s.w.t berfirman yang bermaksud:

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang Kami berikan Kitab itu mengetahui serta mengenalinya (Nabi Muhammad dan kebenarannya) sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian daripada mereka berusaha menyembunyikan kebenaran itu sedang mereka mengenai (salahnya perbuatan yang demikian).” (al-Baqarah: 146)                       

Pada suatu hari, al-Hashin ibn Salam duduk sambil membaca Taurat, Perjanjian Lama, kitab suci kaum Yahudi. Ia termasuk  salah seorang pemuka agama Yahudi dari Bani Qaynuqa yang tinggal di bahagian timur Madinah.

Sebagai seorang Yahudi, al-Hashin mengetahui, menjalankan ajaran agamanyadengan baik, dan mengikuti segala perintah Tuhan yang dituliskan dalam lembar-lembar yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. di Bukit Hawarib.

Al-Hashin mengamati salah satu ayat dalam Taurat yang berbunyi, “Dan Tuhan dari Sinai, terbit dan muncul di Sair, kemudian bercahaya di Gunung Faran.”

Al-Hashin ibn Salam menyedari kurnia dan anugerah dari Allah yang telah memberinya hidayah dan keimanan. Ia sering merenung dan berfikir serius. Dia antaranya ia memikirkan bahawa Allah telah mengutus Nabi Musa a.s. sebagai nabi dan utusan-Nya yang menyeru manusia ke jalan Tuhan. Setelah datangnya Nabi Isa a.s yang diutus di Palestin. Kini, seorang nabi lain diutus. Namun, ia tidak diutus untuk tidak dan berasal dari kalangan Bani Israil seperti nabi-nabi sebelumnya, termasuk Nabi Daud, Sulaiman, Ishak, Yaakub, bahkan hingga Nabi Zakaria dan Isa a.s. Semuanya berasal daripada Bani Israil. Nabi yang baru ini berasal dari garis keturunan Ismail. Ia pun tidak muncul di Palestin, tetapi di Faran, tempat yang kini disebut Mekah. Nabi baru itu akan berhijrah ke Yastrib – yang kelak disebut Madinah al-Munawwarah.

Melalui pemikiran dan perenungannya yang jernih, al-Hashin sampai pada kesimpulan yang benar dan mencapai hakikat sejati. Kerana itu, ia sering berdoa kepada Tuhan agar memanjangkan umurnya sehingga dapat bertemu dengan nabi baru itu dan mengikuti ajarannya.

Al-Hashin menyibukkan dirinya dalam berbagai-bagai aktiviti sosial serta keagamaan, kerana ia termasuk ulama Yahudi, yang harus menasihati kaumnya. Akidah sebahagian mereka telah rosak dan sesat; mereka tidak lagi mengimani Tuhan dan melupakan ajaran-ajaran-Nya. Jiwa mereka cacat dan dinodai kejahatan, kebencian, dan kedengkian. Mereka mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan, antara yang hak dan yang batil dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Meskipun demikian, keburukan dan kerosakan akhlak sebahagian kaumnya tidak membuatnya beralih dari jalan yang benar. Ia tetap kukuh dalam keyakinannya kepada Tuhan, seraya menunggu datangnya khabar tentang nabi baru.

Akhirnya, al-Hashin mendengar khabar tentang seorang bernama Muhammad ibn Abdullah yang mendakwahkan agama baru dan mengajak manusia menyembah kepada Tuhan Yang Esa serta meninggalkan penyembahan berhala. Orang itu mengaku sebagai nabi dan utusan Tuhan. Kini, ia semakin yakin bahawa nabi yang dikhabarkan dalam Taurat itu telah datang. Semakin besar pula keinginan untuk bertemu dan bercengkerama dengannya.

Apakah ia belum mendengar khabar tentang datangnya seorang utusan Muhammad untuk penduduk Yastrib iaitu Mush’ab ibn Umair?

Pada suatu hari…

Ketika sinar matahari mulai meredup dan beranjak menuju peraduannya, al-Hashin baru saja selesai mengerjakan kerja sehari-harinya di kebun kurma. Kelelahan, ia duduk di bawah pohon Kurma seraya menikmati semilir angin yang sejuk membelai tubuhnya. Kenikmatan suasana itu memberati kelopak matanya sehingga lama-kelamaan ia tertidur di bawah naungan pohon kurma itu.

Dalam tidurnya, ia bermimpi cukup aneh…

Dalam mimpinya itu ia berjalan-jalan dengan kepayahan melewati jalan setapak yang sempit. Di kiri kanannya banyak tumbuh semak-semak berduri yang menggoreskan luka-luka kecil pada kakinya. Ada banyak lubang dan bebatuan yang semakin membuatnya sulit berjalan. Ia banyak berhenti untuk menghela nafas, baru kemudian melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, setelah lama berjala, ia melihat di sebelah kanannya sebuah jalan yang mulus, tidak berbatu, dan tanpa duri terpampang di hadapannya … jalan itu begitu mulus dan lapang. Di kiri kanannya tumbuh pepohon yang rimbun menaungi para pejalan. Segera ia beralih ke jalan itu dan merasakan kenikmatan serta kenyamanan … hatinya pun merasa tenang dan bahagia setelah kelelahan sekian lama.

Namun, belum lagi lama berjalan, ia telah terbangun dari tidurnya. Al-Hashin bangkit dengan fikiran masih dipenuhi bayangan mimpinya. Ia putar ulang mimpinya itu dan merenung: makna apakah yang dikandung mimpinya? Ia bertekad untuk menceritakan mimpinya itu kepada kaumnya.

Apakah mimpinya itu merupakan petanda mengenai kehidupan yang akan dijalani al-Hashin?

Al-Hashin pun tidak mengetahui jawapannya. Kerap kali ia putar ulang mimpi itu dalam kepalanya. Sementara itu, ayat Taurat yang selama ini menyibukkan fikirannya pun selalu terbayang dalam benaknya.

Tidak menunggu lama dalam peristiwa itu, al-Hashin mendengar khabar gembira bahawa orang yang dinantikannya itu, Muhammad putra Abdullah sang utusan Tuhan akan tiba di Yatsrib, sebagai Muhajirin bersama sahabatnya.

Nabi Muhammad s.a.w datang ke Yatsrub dan penduduk di sana menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan penghormatan. Dengan gembira menyambut kedatangan Muhammad, setiap orang mempersiapkan diri dan tampil dengan pakaian yang terbaik. Anak-anak dan kaum wanita melantunkan nyanyi puji-puji mengagungkan Muhammad. Setiap lelaki berusaha mengiringi langkah Muhammad dan sahabatnya Abu Bakar sejak memasuki Yastrib seraya berharap bahawa tamu agung itu berkenan singgah dan menjadi tamu di rumah mereka.

Nabi Muhammad s.a.w dan Abu Bakar berjalan melintasi jalanan Yastrib diringi oleh semua orang yang berjalan di belakangnya dengan sukacita hingga mereka tiba di perumahan keluarga Amir ibn Auf.

Pada saat itu, al-Hashin tengah berada di puncak salah satu pohon kurmanya untuk membersihnya pelepah-pelepah yang kering. Ketika melihat kedatangan Rasulullah dan sahabatnya itu, ia berseru gembira, “Allahu Akbar!”

Sementara itu, di bawahnya berdiri Khalidah bint al-Harits yang, mendengar teriakan al-Hashin, lansung bertanya kepadanya, “Demi Allah, mendengar teriakaknmu, seakan-akan aku mendengar khabar kedatangan Musa ibn Imran. Anak saudaraku, mengapa kau berteriak seperti itu?”

Dengan rona muka yang bahagia al-Hashin segera turun dari pohon itu dan berkata pada bibirnya, “Bibi, ia memang saudaranya Musa, yang diutus oleh zat yang juga mengutus Musa. Itulah yang dikatakan Taurat.”
Khalidah berkata lagi, “Anak saudaraku, apakah ia nabi yang dikhabarkan dalam Taurat, dan ia diutus saat ini, sekarang ini?”

“Benar.”

Al-Hashin ibn Salam segera bergabung dengan penduduk Yastrib lainnya menyambut kedatangan Nabi Muhammad saw. dengan perasaan bahagia kerana mendapatkan limpahan dan kurnia kebaikan dari Allah. Al-Hashin sendiri tidak henti-hentinya bersyukur kerana doanya dikabulkan sehingga dapat bertemu dengan Sang Nabi.

Kedatangannya Nabi s.a.w ke Yatsrib semakin menggelorakan hasrat al-Hashin untuk menemuinya. Ia segera pergi dan bergabung di majlis Nabi s.a.w, dan mendengar beliau menyeru orang-orang, “Wahai manusia, sebarkanlah salam kedamaian, berikanlah makanan, dan sambungkanlah tali kasih sayang (silaturrahim), dan solatlah di malam hari ketika orang-orang tidur nyenyak.”

Sungguh kalimat yang baik, murni, dan suci, kalimat yang bersumber dari hati yang tulus dan murni, hati yang memancarkan rasa aman, damai, dan cinta.

Al-Hashin merasa sangat berbahagia. Ketika memerhatikan wajah baginda Nabi saw., semakin ia yakin bahawa seruan yang didakwahkannya itu benar. Kalimat-kalimat semacam itu hanya akan keluar dari lisan seorang nabi, yang diutus membawa risalah daripada Allah.

Orang-orang yang hadir di sana berebut dan saling berdesakan agar mendapatkan kesempatan untuk menyatakan syahadat dan keislamannya di hadapan Nabi saw. Al-Hashin berhasil mendapat kesempatan bagus untuk masuk dan mengadap kepada Rasulullah, dan lansung menyatakan keimanannya kepada Allah dan Rasullah.

Lautan kebahagiaan lansung memenuhi dan menggelorakan jiwa al-Hashin. Berkali-kali ia ucapkan kalimat syahadat. Rasulullah menanyakan namanya, dan ia menjawab, “Hashin.”

Namun Rasulullah segera mencelah, “Bukan, tetapi Abdullah.”

Sejak hari itu, al-Hashin berubah menjadi Abdullah ibn Salam. Ia tak lagi seorang Yahudi. Kini, ia adalah seorang Muslim tulen.

Abdullah ibn Salam kembali pulang ke rumahnya, menemui keluarganya dan mengajak mereka kepada Islam. Mereka semua menyatakan keislaman mereka, termasuk bibinya, Khalidah bint al-Harits.

Abdullah ibn Salam tetap merahsiakan keislamannya itu dari kalangan Yahudi lainnya, kerana ia telah mengenal baik karekter mereka dan keburukan akhlak mereka. Pergaulannya yang lama dengan kaum Yahudi dan kedudukan dirinya sebagai ulama Yahudi membuatnya sangat memahami karakter dan sifat mereka. Sifat dan perilaku buruk itu mereka dapatkan sebagai kesan daripada keburukan dan seksaan yang mereka alami di masa Firaun,serta kekejaman yang ditimpakan oleh Nebukadnezar al-Kaldani, juga kekejaman penguasa Romawi. Kerana itulah kaum Yahudi dikenal sebagai bangsa yang pendendam, pendengki, dan selalu berprasangka buruk kepada pihak lain, bahkan kepada nabi-nabi mereka.

Maksudnya: “Maka (Kami laknatkan mereka) dengan sebab mereka mencabuli perjanjian setia mereka, dan mereka kufur ingkar akan ayat-ayat keterangan Allah, dan mereka pula membunuh Nabi-nabi dengan tiada sesuatu alasan yang benar, dan mereka juga mengatakan: “Hati kami tertutup (tidak dapat menerima ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad)”. (Sebenarnya hati mereka tidak tertutup), bahkan Allah telah memeteraikan hati mereka disebabkan kekufuran mereka. Oleh itu mereka tidak beriman kecuali sedikit sahaja (di antaranya).” (an-Nisa: 155)

Sejarah juga mencatat akan usaha mereka membunuh nabi mereka sendiri, iaitu Nabi Arami. Mereka juga membunuh Nabi Zakaria, serta menyiksa Nabi Isa a.s. dan menyerahkannya kepada penguasa Romawi.

Al-Hashin atau Abdullah ibn Salam mengetahui betul karakter dan sejarah kaum Yahudi, sejarah kebodohan dan kebengalan mereka.

Pada suatu hari Abdullah ibn Salam menghadap kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang bengal. Dusta dan pembangkangan mereka telah dikenal luas, begitupun upaya mereka menyimpangkan manusia dari kebenaran. Seandainya mereka tahu aku telah masuk Islam, tentu mereka akan mencela dan memusuhiku.”

Abdullah ibn Salam meminta kepada Rasulullah untuk menyembunyikan di sebuah bilik, kemudian mengabarkan keislamannya kepada kaum Yahudi. Ia ingin tahu bagaimana reaksi kaum Yahudi ketika mengetahui bahawa ia telah masuk Islam, bahawa ia telah menempuh jalan hakikat.

Kemudian Abdullah ibn Salam bersembunyi di sebuah kamar dan Rasulullah mengundang beberapa pemimpin Yahudi ke rumahnya. Setelah mereka tiba, Rasulullah bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama al-Hashin ibn Salam?”

Mereka menjawab yakin, “Ia tuan kami, dan anak tuan kami. Ia adalah pemuka agama kami dan seorang alim di antara kami.”

Tidak lama kemudian, Abdullah ibn Salam keluar dari bilik dan menemui mereka. Tentu saja para pembesar Yahudi itu terkejut bukan kepalang. Mereka menarik ucapan mereka dan berkata, “Kami salah, lelaki  ini bukan golongan kami, dan bukan pemimpin kami.”
Namun, Abdullah ibn Salam telah memiliki keberaniaan dan kepercayaan diri yang lebih besar. Ia berkata kepada mereka, “Wahai kaum Yahudi, sesungguhnya kalian mengetahui hakikat Muhammad, dan apa yang dibawanya sebagai utusan Tuhan. Semua itu telah tertulis jelas dalam kitab suci kalian, tentang nama dan sifat-sifatnya.”

Orang-orang Yahudi itu masih tidak percaya menyaksikan sesuatu yang tak ingin mereka lihat. Abdullah ibn Salam kembali mengajak mereka, “Wahai kaum Yahudi, bertakwalah kepada Allah. Kenalilah hakikat. Terimalah apa yang disampaikan oleh Muhammad. Ajarannya merupakan petunjuk bagi kamu semua.”
Orang-orang Yahudi itu saling berpandangan di antara mereka, tanpa dapat berkata apa-apa. Ketika mereka masih diliputi keraguan dan ketakjuban, Abdullah ibn Salam menyempurnakan ucapannya, “Sedangkan aku, saksikanlah, aku bersaksi bahawa Muhammad adalah utusan Allah. Dakwahnya adalah kebenaran. Tidakkah kalian berislam?”

Kaum Yahudi itu masih diliputi ketakjuban dan rasa tak percaya. Mereka murka sekaligus tak percaya bahawa guru mereka ternyata telah berubah dan menjadi pengikut Muhammad. Akhirnya mereka pulang seraya berkata mencela Ibn Salam, “Engkau pendusta. Sungguh kau adalah kejahatan di antara kami dan anak kejahatan. Engkau adalah kebodohan dan anak kebodohan.”

Peristiwa ini menunjukkan dusta kaum Yahudi dan kebodohan mereka. Ibn Salam berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, seperti telah kukatakan, kaum Yahudi adalah kaum pembangkang yang bengal. Tidak ada keimanan sejati dalam diri mereka. Dan mereka sama sekali tidak boleh dipercaya. Mereka tak pernah memegang teguh janji mereka.”

Tidak lama menunggu, Allah menurunkan ayat al-Quran yang bermaksud:

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang Kami berikan Kitab itu mengetahui serta mengenalinya (Nabi Muhammad dan kebenarannya) sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian dari mereka berusaha menyembunyikan kebenaran itu sedang mereka mengenai (salahnya perbuatan yang demikian).” (al-Baqarah: 146)

Mendengar ayat itu dibacakan di hadapannya, dan melihat bagaimana Rasulullah mendapatkan wahyu itu, Abdullah  ibn Salam merasa sangat bahagia. Kecerian dan kesenangan memenuhi jiwanya lalu memancar ke seluruh tubuhnya. Ayat Allah itu meneguhkan hakikat yang telah diketahui dan dipegang teguh oleh Ibn Salam, hakikat yang diingkari oleh kaum Yahudi lainnya. Mereka telah mendusta, mendustakan, dan bersikap membangkang terhadap kebenaran. Sebelum pulang, Abdullah ibn Salam berkata kepada Rasulullah, “Demi Allah, aku mengenalmu lebih banyak dan lebih dalam ketimbang anak-anak dan keluargaku.”

Sejak saat itu dimulailah diskusi, perdebatan, dan perbincangan yang seru antara kaum Yahudi dan kaum muslim.

Kehidupan Abdullah ibn Salam berlangsung sebagaimana biasanya. Ia tinggal di Madinah sebagai sebahagian dari umat Islam. Ia bahagia dengan keislamannya. Baginya, tinggal di sisi Rasulullah untuk membela dan membantu dakwahnya adalah kebahagian yang tak berbanding. Ia selalu duduk paling depan di antara sahabat-sahabat lainnya ketika Rasulullah menggelar majlis ilmu.

Tidak ditemui catatan yang jelas tentang keterlibatan Abdullah ibn Salam dalam peperangan yang disertai umat Islam, baik menghadapi kaum Quraisy mahupun ketika mengepung dan mengusir kaum Yahudi, atau ketika mereka menghadapi kedua-dua musuh itu yang bersekutu menyerang kaum Muslim. Namun yang pasti, ia merasa bahagia mendengar khabar kemenangan kaum muslim melawan musuh-musuhnya. Ia senang melihat cahaya Islam semakin jauh menyinari orang-orang dari kawasan yang berbeza-beza di sekitar jazurah Arab. Ia bahagia dengan semakin luasnya wilayah negara Islam sehingga menyentuh kawasan Iraq, Syria, dan Mesir … ia bahagia dengan kemenangan Islam dan Rom dan Parsi. Ibn Salam banyak terlibat dalam berbagai peristiwa historis umat Islam.

Ketika Rasulullah wafat, baginda digantikan oleh Abu Bakar yang menjadi khalifah, pemimpin umat Islam. Kemudian Umar menggantikannya, kemudian Uthman ibn Affan. Mereka semua selalu menghormati Abdullah ibn Salam, mengingat kedudukannya dan kesolehannya.

Pada suatu hari, para sahabat Rasulullah sedang duduk di Masjid Nabi. Di tengah-tengah mereka duduk seorang lelaki tua. Aura wajahnya tampak mengesankan dan memikat setiap orang yang memandangnya. Ia tengah berbicara kepada hadirin menyampaikan nasihat dan ajaran-ajaran keagamaan. Dialah Abdullah ibn Salam.

Ia berbicara kepada orang-orang di sekitarnya dengan gaya tutur yang santun. Lembut, dan berwibawa. Orang-orang duduk mendengarkan dengan khusyuk. Setelah majlis ilmu itu selesai, Abdullah ibn Salam keluar dari majlis untuk berjalan sesuai dengan kehendak hatinya.

Ketika ia keluar masjid, seseorang yang ikut mendengarkan ceramahnya berkata, “Siapa saja yang suka melihat wajah seorang ahli syurga, lihatlah laki-laki itu.” (yang dimaksudkannya adalah Ibn Salam).

Seorang sahabat yang bernama Khursyah ibn al-Hurr, yang ikut menghadiri majlis ini, berkata kepada dirinya sendiri, “Demi Allah, aku akan mengikutinya hingga aku mengetahui rumahnya.”

Khursyah mengikuti Abdullah ibn Salam. Namun di tengah perjalanan Abdullah memanggilnya dan bertanya, “Apa keperluanmu, wahai saudaraku?”

Khursyah menjawab, “Aku mendengar orang-orang berbicara tentangmu ketika engkau keluar dari masjid, “Siap saja yang suka melihat wajah seorang ahli syurga, lihatlah laki-laki itu’. Itulah yang mendorongku untuk mengikutimu.”

Abdullah ibn Salam berkata, “Hanya Allah yang mengetahui tentang ahli syurga. Aku akan bercerita kepadamu tentang hadis yang mereka bicarakan.”

Kemudian Abdullah ibn Salam mulai menceritakan kisahnya.

Ketika aku tidur, aku bermimpi. Seorang lelaki mendatangiku dan berkata kepadaku, “Bangkitlah.” Kemudian ia memegang tanganku. Dan aku pun pergi bersamanya. Kami tiba di hadapan persimpangan. Aku mencuba berjalan ke arah kiri, namun laki-laki itu menahanku dan berkata, “Jangan ambil jalan yang kiri, kerana jalan itu adalah jalan golongan kiri.”
Lalu aku melihat ke jalan sebelah kanan, dan lelaki itu berkata, “Ambillah jalan ini.”

Kemudian kami berjalan hingga tiba di sebuah tiang yang sangat tinggi. Dasarnya tertanam di bumi dan puncaknya menyentuh angkasa. Dari puncak tiang itu tergantung seutas tali. Lelaki itu berkata, “Panjatlah tiang ini.”
“Bagaimana boleh memanjat tiang ini sedangkan puncaknya menembus cakerawala?”

Ia memegang tanganku dan tiba-tiba saja aku telah bergantung pada tali itu berusaha memanjat tiang.

Entah apa yang terjadi berikutnya kerana fajar membangunkanku. Keesokan paginya aku menemui Rasulullah dan menceritakan mimpiku. Rasulullah bersabda, “Jalan yang kau lihat di sebelah kirimu adalah golongan kiri. Jalan yang ada di sebelah kananmu adalah jalan golongan kanan. Sedangkan mengenai gunung, itu adalah tempat para syuhada. Kau tidak akan mendatanginya. Dan tiang tinggi yang puncaknya di angkasa dan dasarnya di bumi adalah tiang Islam. Tali yang kau gunakan untuk memanjat adalah tali Islam. Kau akan terus memegangnya hingga akhir hayatmu.”

Khursyah senang mendengar kisah itu dan berharap semoga dirinya termasuk ke dalam golongan ahli syurga.

Keadaan berlangsung di Madinah selari dengan harapan semua kaum Muslim. Mereka hidup bahagia dan dipenuhi harapan yang indah mengenai kemajuan agama mereka. Kini, cahaya Islam telah tersebar ke wilayah yang jauh lebih luas. Pasukan Muslim berjaya menewaskan pasukan Parsi di timur dan bersiap-siap menakluk Mesir.

Muaz ibn Jabal termasuk pasukan tentera Muslim yang turut serta dalam misi penaklukan Syria. Namun, ia diserang wabak penyakit di sana. Ia pulang ke Madinah dalam keadaan sakit yang teruk.

Dengan hikmah yang dimilikinya, Abdullah ibn Salam mengetahui apa yang dideritai Muaz ibn Jabal dan menyedari bahawa ajalnya tidak lama lagi. Kerana itu, ia berkata kepada Muaz, “Wahai Muaz, berilah kami wasiat.”
Muaz, yang telah meraih hakikat, berkata kepada para sahabat yang hadir di sekitarnya, “Carikanlah  ilmu dari Abu Darda, Salman, Ibn Mas ‘ud, dan Abdullah ibn Salam, seorang Yahudi yang masuk Islam. Aku mendengar Rasulullah bersabda tentangny, ‘Sesungguhnya ia termasuk dari sepuluh ahli syurga.”

Wasiat itu merupakan persaksian yang jelas mengenai kedudukan dan keutamaan Abdullah ibn Salam.

Kehidupan Abdullah ibn Salam berlangsung dengan tenang. Ia diselamatkan daripada konflik sosial-politik yang berlaku di masa-masa akhir kekhalifahan Uthman ibn Affan serta konflik antara Ali ibn Abu Talib dengan Muawiyah ibn Abu Sufyan.

Ketika mengetahui bahawa Ali ibn Abu Talib berniat menghantar pasukan tentera ke Iraq untuk menyerang para pembemrontak, Abdullah ibn Salam memberi nasihat, “Wahai Ali, tetaplah bertahan pada mimbar Rasulullah s.a.w. Jika kau meninggalkannya, kau tidak akan kembali ke sana.”

Tetapi Ali tidak mengikuti nasihat Ibn Salam dan berkata, “Abdullah ibn Salam adalah lelaki yang soleh.”

Dan terjadilah apa yang telah terjadi ke atas diri Ali ibn Abu Talib.

Abdullah ibn Salam meninggal dunia pada tahun 43 Hijrah.

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abdullah ibn Salam, kerana Dia telah menunjukinya kepada Islam dan berjuang dengan tulus ikhlas membantu dakwah Rasulullah sehingga Rasulullah memberikannya khabar gembira sebagai salah seorang ahli syurga.


MUHAMMAD IQBAL
ummatanwasatan.net
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment