Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Di zaman yang manusianya banyak kurang waras, pertama kali yang merasa terkena resiko adalah orang yang masih waras.
Ungkapan “sing waras ngalah” artinya siapa yang pikirannya normal
agar mengalah, menahan diri, tidak meneruskan percekcokan, pertengkaran
dan sebagainya. Biarkan orang yang kurang normal pikirannya tetap
beraksi dan meneruskan kemauannya.
Ungkapan itu bisa dimaknakan sindiran kepada orang yang sedang
bertikai, agar yang merasa dirinya masih berpikiran normal mau mengalah,
menahan diri, tidak ngotot. Sehingga yang masih ngotot
berarti kurang waras, kurang normal.
Itu ketika keadaannya normal. Perkataan “sing waras ngalah” dapat
dimaknakan seperti itu. Tetapi ketika keadaan berbalik, yakni
manusia-manusianya sudah banyak yang tidak normal, maka sing waras ngalah
itu menjadi keniscayaan, kemestian; siapa yang waras harus mengalah.
Dan siapa yang kurang waras sajalah yang akan menguasai lapangan
percaturan kehidupan (yang sudah tidak normal itu).
Sebagaimana tata aturan hidup yang normal, yang namanya orang normal
itu berbeda dengan orang gendheng alias gila. Tetapi di zaman gendheng
(gila), maka tidak ada bedanya antara orang waras (normal) dengan orang
kurang waras. Sama saja. Orang waras berjumlah seribu orang ya sama
nilainya dengan seribu orang kurang waras. Orang shaleh seribu ya
nilainya sama dengan seribu bajingan.
Padahal Allah Ta’ala telah memperingatkan:
{قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ
أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي
الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [المائدة: 100]
100. Katakanlah: “tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun
banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah
Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS
Al-Maaidah: 100).
{قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ} [الزمر: 9]
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran. (QS –Zumar/39: 9).
Jelaslah, ayat-ayat telah memberi petunjuk, orang yang baik itu tidak
sama dengan orang yang buruk; orang yang berilmu itu tidak sama dengan
orang tidak berilmu. Tetapi manusia kini tidak menggubrisnya bahkan
membuat aturan yang berbalikan. Orang shalih seribu ya sama dengan
bajingan seribu. Sepuluh orang alim lagi baik ya sama nilainya dengan
orang bodoh lagi bejat sepuluh orang. Na’udzubillahi min dzalik!
Ketika manusianya sudah membuat aturan tidak waras seperti itu, maka
orang waras pun mau tidak mau harus mengalah. Tidak berkutik lagi.
Sementara itu orang-orang yang tidak waras justru mengambil kesempatan.
Kesempatan apa ?
Kesempatan untuk membuat, mengkader sebanyak-banyaknya orang yang tidak waras.
Untuk apa ?
Untuk menambah suara dalam pemilihan ini dan itu, dari pilkada bahkan
pilihan RT sampai pilihan caleg, bahkan penguasa tertinggi di suatu
negeri.
Pengkaderan sebanyak-banyaknya agar jadi orang yang tidak waras ? Aneh.
Di dunia ini, ketika norma yang dibangun sudah berlandaskan
menyamakan orang waras dengan orang tidak waras itu sendiri sudah aneh.
Sehingga yang ditempuh selanjutnya pasti tidak waras pula.
Disamping itu, pengkaderan orang agar tidak waras itu jauh lebih
murah dan mudah. Siapa saja bisa dikader untuk jadi orang yang tidak
waras, tidak mau memikir, tidak menggubris aturan agama, tidak
menggubris akhlaq mulia, tidak menggubris lagi halal atukah haram. Yang
penting hidup. Itu jauh lebih mudah dan murah. Daripada mengkader
manusia untuk menjadi orang shalih, mentaati agama, mencegah kemunkaran,
kemaksiatan, kemunafikan, kemusyrikan dan mencegah aneka kejahatan,
mengkritisi aneka kebobrokan, penyimpangan, kecurangan dan sebagainya.
Itu susah dan tidak murah.
Hasilnya, dapat dipastikan, pengkaderan orang-orang tidak waras jauh
lebih sukses. Saking suksesnya, hampir-hampir tidak pernah
mempersoalkan, ketika orang waras disamakan nilainya dengan orang tidak
waras. Seribu orang waras disamakan nilainya denga seribu oang yang
kurang waras. Mereka diam saja.
Ketika jumlah kader tidak waras telah jauh lebih banyak dibanding
yang waras, lalu mereka bertanding untuk memilih pemimpin, maka
pertimbangan dari manusia-manusia yang tidak waras itulah yang akan
dominan, karena bukan berdasarkan bagusnya berfikir tetapi hanya
berdasar jumlah pemilih. Orang-orang tidak waras seribu misalnya, pasti
mengalahkan orang waras yang hanya seratus. Semakin sedikit orang yang
waras, semakin kalah pula pilihan orang waras itu.
Dalam keadaan seperti itu, orang waras terpaksa tidak bisa berkutik.
Bukan lagi ungakapannya “sing waras ngalah”, tetapi “sing waras terpaksa
harus mengelus dada”.
Kenapa jadi begini ya?
Ketika manusia ini membuat-buat aturan yang tidak sesuai dengan
aturan dari Allah Ta’ala Yang Maha Mengatur, maka manusia-manusia itu
sendiri yang akan merugi. Tentu saja yang merasakan kerugian itu
pertama-tama hanyalah orang yang waras. Itulah resiko jadi orang waras
di zaman yang manusia-manusianya kurang waras.
Semoga Allah Ta’ala menyelamatkan hamba-hambanya yang masih
berpikiran waras lagi menjunjung serta mentaati aturan-aturan-Nya. Amiin
ya Rabbal ‘alamiin.